Selasa, 05 Desember 2017

NIAT MENGABDI DAN CARA TERPILIH


Masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu, para calon kepala desa berlomba untuk mempromosikan diri supaya terpilih menjadi kepala desa. Berbagai cara mereka tempuh, mulai dari mengiklankan dan mencitrakan diri lewat spanduk, stiker dan poster. Selain itu mereka juga melakukan promosi dari mulut ke mulut tim sukses yang melakukan politik blusukan, mendekati tokoh masyarakat, juga tokoh agama. Akibatnya, masyarakat seakan kesulitan menemukan pemimpin yang tepat untuk membawa masyarakat menjadi lebih sejahtera, mandiri, beradab dan bermartabat.

Di tengah kebingungan itu, masyarakat tentu akan kehilangan daya kritis dan obyektifitasnya dalam memilih calon kepala desa. Maka yang terjadi adalah memilih berdasarkan emosional, kedekatan personal,kekeluargaan, dan yg lebih menonjol karena uang tentu saja. Padahal tidak sedikit putera desa yang punya potensi kepemimpinan yang dapat dilamar dan diangkat serta didelegasikan sebagai pemimpin yang dianggap mampu membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat. Yakni calon pemimpin yang merakyat, masih bersih, berkomitmen, lurus, mempunyai visi, dan siap melakukan perubahan.

Potensi kepemimpinan putera desa itu ada di banyak tempat, baik di instansi pemerintahan, lembaga pendidikan, partai politik, maupun kampus dan organisasi masyarakat. Namun, karena biasanya wacana kepemimpinan banyak didominasi oleh politik pragmatis, maka potensi kepemimpinan itu mengalami hambatan untuk muncul.

Mencermati model kepemimpinan dan prestasi kerja kepala desa sekarang, yang oleh sebagian kalangan dianggap minus prestasi, lemah visi, miskin gagasan, dan kurang kerja keras, menjadikan masyarakat seperti berada dalam sebuah kubangan dilema besar dan mematung di persimpangan jalan. Masyarakat tahu bahwa misalnya saja Desa memiliki syarat untuk menjadi desa yang berkembang. Karena letaknya yang strategis, menjadi keunggulan tersendiri yang apabila dikelola akan dapat mengatasi masalah dan menjawab tantangan desa baik tantangan lokal maupun global.

Dengan potensi berbagai sumber daya desa dan dana dari pemerintah, seharusnya kepala desa dapat melejitkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sehingga dapat menjamin kesejahteraan, kesehatan, keamanan dan pemerataan pendidikan di tengah-tengah masyarakat desa.untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa.

Pada tataran teori, mestinya seorang pemimpin haruslah berdiri di garda depan dengan menyingsingkan baju, fokus bekerja, berkomitmen pada kebutuhan masyarakat, serta menjadikan kemakmuran dan kemajuan masyarakat desa sebagai tujuan utama. Yang dicitrakan publik saat ini, kepala desa dan jajarannya seolah abai pada janji-janji kampanye, dan entah sibuk dalam hal apa, sehingga pekerjaan rumah di dalam desa tidak kunjung nampak untuk memberi dampak produktif di tengah-tengah masyarakat.

Dalam kondisi yang sedemikian itu, maka wacana untuk memunculkan kepala desa yg aktif menjadi gagasan penting dan mendesak yang harus segera dipenuhi. Masyarakat butuh pemimpin yg aktif yang sudah diketahui track recordnya, visi dan misinya, gaya hidupnya, serta komitmen kerja heroiknya untuk membuat kebijakan yang akan mengantarkan masyarakat desa sebagai masyarakat adat yang sejahtera, aman, beradab dan bermartabat.

Dengan kepala desa yang menjadikan nilai-nilai keutamaan publik, dan keinginan yang gigih untuk mengabdi pada masyarakat sebagai landasan kepemimpinannya, maka masa depan masyarakat desa yang lebih baik bukan lagi mimpi belaka.
namun bisa kah semua itu terwujud, kalau ketika menentukan pilihan,masyarakat menjadikan uang sebagai landasan nya, yg memberikan uang terbanyak yg di pilih,

perhatian masyarakat untuk memilih kepala desa biasa nya di dasari pemberian uang yang alih-alih sebagai pemberian hadiah, untuk beli makan, dsb. Hal itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum waktu pencoblosan dilakukan. Pemberian tersebut juga dirasa tidak cukup untuk menarik simpati masyarakat, karena kehendak manusia dapat berubah-ubah kapan saja dan dimana saja. Sehingga waktu mendekati hari H bakan pada hari H pun, para calon kepala desa gencar melakukan bagi-bagi uang kepada masyarakat agar yakin dan mantap untuk memilihnya. Nominal yang dikeluarkan juga tidak sedikit, sekitar 50.000-100.000-200.000 bahkan lebih per orang. Cara ini dirasa cukup efektif untuk menarik perhatian masyarakat untuk datang langsung ke TPS dan memilihnya.

Meskipun praktik ini dilarang oleh negara dan agama, namun kenyataan dilapangan masih banyak ditemukan parktik-praktik kotor tersebut. pertanyaan mendasar kepada para calon yang melakukan praktik tersebut, apakah tidak takut diberi sanksi? namun mereka memiliki alasan tersendiri tentang hal itu, salah satunya adalah pemberian tersebut merupakan pemberian biasa karena Jika tidak diberi uang masyarakat enggan datang ke TPS apalagi mencoblos. Fenomena tersebut sering kita jumpai disaat momen menjelang pemilu, atau pemilihan pejabat politik yang lainnya.

Terlepas dari alasan yang dikeluarkan oleh para calon kepala desa, fenomena ini sangat berdampak terhadap perilaku masyarakat saat ini. Dampak yang paling mononjol adalah ketergantungan masyarakat dalam memilih calon berdasarkan uang yang diberikan bukan visi misi, serta latar belakang para calon tsb. Saat ini setiap orang beranggapan “ nu mere duit nu di pilih (yg ngasih uang yg di pilih)”. Jika praktik ini terus dilakukan maka yang terjadi adalah membentuk perilaku-perilkau materialis alias semua yang dilakukan “aya duitan teu ? (ada uangnya tidak ?)”.

Dampak perilaku yang materialis akibat money politik dimasyarakat adalah seseorang memilih calon kepala desa bukan karena idealismenya atau sosok figur nya, tetapi berdasarkan yang memberikan uang, namun hal ini sepertinya sudah jadi budaya dan sudah berakar kuat di masyarakat,dan tentu saja hal ini akan membentuk seorang kepala desa yg harus mengeluarkan uang banyak untuk terpilih,bahkan bisa jadi banyak hutang,maka ketika dia sudah terpilih dan menjadi seorang kepala desa, apakah dia bisa fokus mengabdi,atau pengen modal kembali,atau hutang terbayar dulu, tinggal kita lihat saja bagaimana nantinya

namun terlepas dari semua itu,ketika seorang kepala desa sudah terpilih, kita tetap perlu mendukung,memperhatikan dan memantau kinerjanya,semoga dia tidak merasa sudah membeli masyarakat dan bertindak semaunya,semoga pemimpin terpilih bisa tetap mengabdi pada masyakatnya dan melaksanakan visi misi serta janji-janji nya

Selasa, 24 Juni 2014

MOBIL TERGULING DI DESA SANGIANG

sebuah mobil bak terbuka yang bermuatan sekitar 15 orang,terguling ke jurang sekitar 70m,di desa sangiang,kecamatan mancak,kabupaten serang, tepat nya di wilayah paksamaya.red(di atas kampung pasir gadung) hari selasa tgl 24 juni 2014 tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, korban hanya luka ringan dan tidak ada yang sampai di bawa ke rumah sakit
penyebab ter guling nya kendara an ini di karenakan jalan nya longsor

Kamis, 22 Mei 2014

kampung halaman ku

PASIR GADUNG
Sebuah kampung yang terletak di desa sangiang,kecamatan mancak,kabupaten serang,provinsi banten, yang berbatasan sebalah utara kampung kadutukon,sebelah barat kampung cimeubeul,sebelah timur kampong pasir awi,dan sebelah selatan kampong kambangan.

Nama pasir gadung terdiri dari dua kata PASIR dan GADUNG
-PASIR, ketika mendengar kata ini orang akan identikan dengan tanah pasir(bahan bangunan) namun pasir di sini di ambil dari bahasa sunda,yang arti nya sutu wilayah yang terletak di ketinggian,semacam bukit atau pegunungan.
-GADUNG,  yaitu suatu jenis tanaman yang  tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan 
umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Umbinya dapat pula dijadikan arak (difermentasi) sehingga di Malaysia dikenal pula sebagai ubi arak, selain taring pelandok.
Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti bitule (Gorontalo), gadu(Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda) iwi (Sumba), kapak (Sasak),salapa (Bugis) dan sikapa (Makassar)
Tumbuhan gadung berbatang merambat dan memanjat, panjang 5–20 
m. Arah rambatannya selalu berputar ke kiri (melawan arah jarum jam, jika dilihat dari atas
Batangnya kurus ramping, setebal 0,5–1 
cm, ditumbuhi duri atau tidak, hijau keabu-abuan. Daun-daunnya terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, bentuk bundar telur atau bundar telur sungsang, tipis bagai kertas. Bunga jantan terkumpul dalam tandan di ketiak; bunga betina majemuk berbentuk bulir. Mahkota bunganya berwarna kuning, benang sarinya berjumlah enam, dan berwarna kuning juga.Umbinya terbentuk dalam tanah, berjumlah banyak dan tak beraturan bentuknya, menggerombol dalam kumpulan hingga selebar 25 cm. Sementara buahnya, berbentuk elips, berdaging, berdiameter ± 1 cm, dan berwarna coklat
Umbi gadung dikenal sangat beracun. Umbi ini digunakan sebagai racun ikan atau mata panah. Sepotong umbi sebesar apel cukup untuk membunuh seorang pria dalam waktu 6 jam. Efek pertama berupa rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur menjadi rasa terbakar, diikuti oleh pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.
Meski demikian di Indonesia dan Cina, parutan umbi gadung ini digunakan untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, kapalan dan mata ikan. Bersama dengan gadung cina (Smilax china L.), umbi gadung dipakai untuk mengobati luka-luka akibat sifilis. Di Thailand, irisan dari umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang perut dan kolik, dan untuk menghilangkan nanah dari luka-luka. Di Filipina dan Cina, umbi ini digunakan untuk meringankan arthritis dan rematik, dan untuk membersihkan luka binatang yang dipenuhi belatung.
Umbi Dioscorea (genus uwi-uwian) mengandung lendir kental terdiri atas glikoprotein dan polisakarida yang larut pada air. Glikoprotein dan polisakarida merupakan bahan bioaktif yang berfungsi sebagai serat pangan larut air dan bersifat hidrokoloid yang bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar total kolesterol, terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein)
Umbi gadung dipergunakan sebagai makanan pokok.Menurut catatan sejarah, fakta mengejutkan menunjukkan bahwa pada tahun 1628, di saat Batavia (sekarang Jakarta) dikepung, masyarakat memakan singkong dan gadung.Di masaRumphius, beberapa varietas Dioscorea juga ikut dimakan. Ini diperkuat dengan kebiasaan masyarakat yang memakan singkong hutan yang varietas liar di Priangan dan sebagian Jawa Timur pada 1830. Kebiasaan ini diperkuat bahwa di Jawa Tengah-pun, memakan nasi adalah kebiasaan yang belum umum di sana. Ini diperkuat dengan kebiasaan makan nasi yang mulai menjalar pada 1800 Masehi. Pada masa itu, serdadu VOC yang sering bertugas ke kampung-kampung sering membawa nasi untuk makanan mereka. Ini memberi kejelasan bagi kita bahwa nasi belum umum hingga bagian pertama abad ke-19 dan umbi-umbian semacam gadung umum dimakan pada masa penjajahan Kolonial Belanda.
Gadung terkenal beracun dan mengandung alkaloid dioskorina (dioscorine) yang menyebabkan pusing-pusing. Di Nusa Tenggara dan Maluku, biasa digunakan sebagai makanan pokok sebagai pengganti jagung dan sagu terutama di wilayah-wilayah kering.Pada tahun 80-an, gadung dapat ditemui di pasar-pasar Indonesia -terutama di Pulau Jawa- sebagaikeripik gadung. Di zaman sekarang ini, hanya keripiknya-lah yang dimakan.Keripik gadung banyak dijual di Kuningan,Jawa Barat dan rasanya gurih
Sisa pengolahan 
tepung gadung bisa digunakan untuk insektisida. Bunga gadung yang berwarna kuning tersebut dapat mewangikan pakaian dan bisa dipakai untuk hiasan rambut.Oleh sebab itu, orang Bali menggunakan ini untuk mewangikan pakaian, rambut, dan kepala. Getahnya digunakan dalam proses pembuatan tali rami serta untuk memutihkan pakaian

Dari nama gadung muncul istilah "gadungan" (yang berarti: palsu, tiruan), karena gadung serupa dengan ubi gembili tetapi umbinya beracun, sehingga "membohongi" orang yang mengonsumsinya. Di 
Jakarta Timur, ada daerah yang bernama Pulo Gadung, yang asal katanya mengacu kepada nama tanaman ini. Sedangkan ular gadung (Ahaetulla prasina) dinamai demikian karena warna dan bentuk tubuhnya menyerupai pucuk tanaman gadung yang kurus lampai.
jadi ide nama PASIR GADUNG tercetus karena disini wilayah nya berada di daerah ketinggian dan dulu nya banyak tanaman gadung,bukan di karena kan orang nya gadungan,


BUDAYA

penduduk di sini sehari-hari nya menggunakan bahasa sunda(sunda banten)
seperti hal nya wilayah-wilayah lain di daerah banten,sebelum masuk ajaran islam,penduduk di sini menganut ajaran karuhun(hindu) terbukti dengan masih tersisa nya kebiasa an dan adat atau tradisi dari nenek moyang,yang masih di pertahan kan,sekalipun isi dari kebiasa an tersebut sudah di perbaharui,yang tadi nya mengandung unsur ajaran hindu diganti dengan unsur ajaran islam,
terutama yang bertentangan dengan aqidah islam,
    seperti hal nya ketika ada orang meninggal dunia,masih ada istilah nujuh(hari ke 7) matangpuluh(hari ke 40) nyatus(hari ke 100) dan ngehol(tiap tahun)
namun kalau dulu di isi dengan acara sesajen,bakar menyan,dll(tradisi hindu) kini diganti dengan istilah tahlilan atau kirim do’a,yang isi nya membacakan solawat nabi,tasbih,zikir serta do’a,kepada allah swt.
dan dalam hal ini memang menjadi kontrofersi dalam ajaran islam,karena ada yang menganggap hal ini tidak di ajar kan oleh baginda nabi muhamad saw, itu memang benar,karena munkin hal ini tidak ada dalam ajaran islam,tapi ini adalah kebiasa an,atau adat kebudaya an masyarakat di sini,namun yang jelas hal ini(tahlilan) tetap berpedoman pada ajaran islam yang mana isi nya tidak ada yang bertentangan dengan ajaran islam.bahkan banyak nilai positif nya,di antara nya yang masih hidup supaya tidak terlena karena di ingat kan pada  kematian,ada pembaca an solawat nabi,bedzikir,dll,
   juga ada istilah cukuran,yang inti nya pemberian nama pada bayi yang baru lahir,yang mana acara nya masih mengguanakan adat atau tradisi nenek moyang tapi isi nya sudah di perbaharui dengan unsur  ajaran islam,
   dan hal yang paling menonjol tentang kampong ini dari kampong-kampung lain nya di sekitar sini,yaitu,kalau ada acara resepsi apapun itu,tidak di perkenan kan mengadakan panggung hiburan seperti jaipongan,dangdutan atau hal-hal seperti itu, kalau pun mau ada kegiatan paling qasidahan atau ceramah agama,,namun kini sudah ada yang mulai melanggar nya,

PENDIDIKAN
sebelum era roformasi,mayoritas masyarakat di sini memprioritas kan pendidikan non formal yaitu di pesantren-pesantren salafi,jadi pendidikan secara formal hanya sampai SD atau paling SLTP hanya sedikit yang sampai SLTA apalagi ke tingkat yg lebih tinggi,sekalipun ada tapi sangat sedikit,
mungkin karena factor ekonomi para orang tua nya memang lemah,atau kurang nya semangat untuk mengikuti pendidikan formal,bisa jadi karena mereka(para orang tua) berkeyakinan bahwa pendidikan agama(di pesantren-pesantren salafi) lebih penting dari pada pendidikan formal(di bangku sekolah)
tapi sekarang,seiring perkembangan jaman,,perubahan sudah sangat terlihat,,kalau tadinnya jarang yang mengikuti pendidikan formal,sekarang mayoritas anak didik,mengikuti pendidikan formal,sedang kan yang ke pesantren salafi sudah jarang,yang tadi nya di kampong ini hanya ada bangunan madrasah serta sekolah dasar kini sudah ada bangunan SLTP,dan di harap kan untuk ke depan nanti ada bangunan SLTA.

EKONOMI
Mayoritas masyarakat di sini tadi nya petani,namun pola bertani nya asal-asalan,jadi tidak focus pada satu jenis tanaman atau satu lahan tertentu,missal kan berkebun,dalam satu kebun tersebut yang mana kebun nya tidak seberapa luas namun segala macam tanaman dan pohon-pohonan di tanam di situ,contoh seperti dalam satu lahan di tanam pohon duren,pohon jengkol,pohon melinjo,pohon kelapa,pohon kopi pohon rambutan,dll,memang segala ada tapi tidak memadai,ada juga yang menanam padi di sawah,tapi sawah nya tidak ada yang luas,sehingga sekalipun panen tapi hasil nya tidak maksimal,, maka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat sekarang banyak yang berprofesi ganda,ya petani,ya karyawan ya wiraswasta, kalau para orang yang sudah aga tua masih tetap bertani sekalipun tani nya asal-asalan, tapi orang-orang yang masih muda nya, sekarang rata-rata berprofesi sebagai karyawan pabrik,atau buruh di proyek-proyek ada juga yang berwiraswasta,dan para ibu-ibu nya sekarang rata-rata mengisi waktu luang nya dengan membuat emping melinjo,untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga,dengan begitu secara perlahan perekonomian masyarakat yang tadi nya rata-rata sangat lemah,perlahan meningkat menjadi lebih baik.

KESIMPULAN
pasir gadung adalah kampung yang penduduk nya berbahasa sunda,dan ber agama islam.
yang masih mempertahan kan budaya,memang di bidang pendidikan formal dan ekonomi nya sedang merangkak naik,namun dalam bidang ke agama an nya menurun,

seiring perkembangan jaman,seperti hal nya kampung-kampung lain,kampung ini pun sudah banyak berubah,yang kalau tadinya masyarakat di sini terkenal religious dan berpegang teguh pada ajaran agama ISLAM karena rata-rata masyarakat nya menimba ilmu di pesantren salafi,sehingga dulu di kampung ini yang nama nya hiburan panggung seperti dangdutan, itu tidak ada,karena memang seolah di buat pantangan oleh masyarakat nya, dulu selepas solat magrib, disini kita bisa mendengar  suara ramai anak-anak yang sedang belajar mengaji AL-QUR”AN hampir di setiap rumah,budaya gotong royong serta kekompakan yang tinggi.
kini,, hampir semuanya berubah,, kedamaian batin sulit di rasa kan,para orang tua hanya sibuk dengan mencari materi,kurang memperhatikan anak-anak nya dalam urusan agama,sehingga anak-anak kurang di didik dan di kuasai oleh lingkungan yang sudah terkontaminasi oleh budaya barat,dari tontonan,dari pergaulan,menjadi kan karakter generasi jauh dari agama,, kini pantangan sudah tidak ada,panggung hiburan sudah hampir biasa,belajar mengaji sudah jarang,,yang ada hanya lah hura-hura,,,,


di tulis oleh ADESUPRIADI
saran dan kritik serta tanggapan nya di mohon ke blog ini atau email adesupriadi49@gmail.com